Lamunan sepenggal waktu menunggu buka puasa
Bulan Desember, Abad 20.
Hari ini, hari yang mendebarkan.
Rachmadi sudah merasa "raport" nya akan dibanjiri dengan tinta merah. Nilai-nilai pelajarannya sudah pasti kebanyakan 'jeblog' semua. Rachmadi sekarang berada di kelas dua sebuah Sekolah Menengah Atas Negeri di bilangan Setiabudi, Jakarta.Hari ini adalah hari penerimaan raport semester pertama.
Dia teringat kembali masa-masa sekolah ketika semester pertama itu. Hari-harinya dipenuhi dengan ketidakseriusan. 'Ngobrol' di dalam kelas ketika pelajaran berlangsung. 'Ngabur' dari pelajaran yang tidak dia sukai. Main bola pada waktu luang. 'Nongkrong' di kantin. Dan lain-lain. Dan sebagainya. Dia tidak ingat lagi apa saja yang telah dilakukan untuk membuang hal-hal yang serius dalam masa-masa belajar sekolahnya. Terlalu banyak untuk diingat dan terlalu banyak untuk diceritakan yang akan membuatnya malu.
Yang jelas, dari semua itu Rachmadi sampai merasa bahwa dirinya tidak tahu lagi untuk apa dia sekolah !
"Gila, rapot gue kebakaran ! Hampir semua pelajaran nilainya merah semua !" kata hati Rachmadi ketika raport di tangan bergetar tanda terkejut setengah takut. Dia sudah terbayang, betapa ayah dan ibu akan marah besar. Rachmadi sekarang ternyata telah menjadi 'pemancing'. Iyah ! Pemancing kemarahan.
"Eeeh, kok kelihatannya lo bingung amat sih ?", tegur Fatah teman akrabnya.
"Ini lho, lihat raportku !", sahut Rachmadi masih dengan kegundahannya.
Fatah melihat raport Rachmadi. Tidak ada perubahan mimik wajah sama sekali ketika dia melihat raport Rachmadi. Seolah-olah raport temannya itu wajar-wajar saja.
"Lo tenang aja, gak usah bingung deh ...,gue kasih tahu caranya agar raport lo bisa disulap jadi biru semua", kata Fatah dengan gaya penasehat yang penuh bijaksana.
"Ikut les sama guru pelajaran yang nilainya merah, dijamin deh biru semua pada kenaikan kelas nanti...", sambung Fatah dengan wajah penuh keyakinan.
"Yang sudah-sudah juga begitu kok !" tambahnya lagi.
"...???", Rachmadi termangu-mangu dia semakin bingung saja.
Nah, begitulah sekolah. Sekolah telah membuat kita tidak bisa lagi membedakan antara "proses" dan "substansi". Ketika proses pendidikan (baca: sekolah) dan substansi pendidikan dicampuraduk maka timbullah 'nilai-nilai baru'. Nilai-nilai yang menyesatkan kita.Nilai-nilai yang membuat kita bodoh ditengah-tengah "peperangan melawan kebodohan" (baca : pendidikan).
Kita telah diajak untuk memahami bahwa "pengajaran" sama dengan "belajar"."Naik kelas" sama dengan "pendidikan". "Ijazah" atau "raport" sama dengan "kemampuan". Maka dengan demikian kita telah mengalami distorsi dalam memahami makna "pendidikan" itu sendiri. Yang kita fahami bahwa sekolah adalah suatu lembaga yang telah difahami sebagai wujud hakekat pendidikan itu sendiri.
Mengapa sudah sangat demikian biasnya ?
Untuk mengetahui sebabnya, maka pertama hendaknya kita menelusuri sejarah timbulnya sekolah sebagai bagian dari perkembangan peradaban manusia dimana lembaga sekolah itu lahir. Yang kedua adalah, apa dampak secara kejiwaan dari lembaga sekolah akibat dari nilai-nilai yang tertanam dalam masyarakat berdasarkan perjalanan sejarahnya.
Kalau kita telusuri dari bahasa aslinya, kata "sekolah" berasal dari bahasa Latin yaitu skhole, scola, scolae atau schola yang berarti "waktu luang" atau "waktu senggang". Hah ! apa hubungannya ? Nah, kita lihat sejarahnya maka akan terlihat hubungan antara makna sekolah dan arti secara bahasa.
Dahulu di Yunani - tempat asal muasal kata "sekolah" - orang mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang yang pandai dalam hal-hal tertentu untuk menanyakan dan mempelajari hal-hal yang mereka butuh ketahui. Dari sini dapat dimengerti secara istilah 'sekolah" berarti "waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar".
Lama kelamaan, kebiasaan tersebut tidak semata-mata menjadi kebiasaan kaum lelaki dewasa. Kebiasaan tersebut juga diberlakukan bagi anak-anak mereka. Karena desakan perkembangan kehidupan yang kian beragam dan kian menyita waktu, orang tua merasa bahwa mereka tak punya waktu lagi untuk mengajarkan banyak hal kepada anak-anak mereka. Maka mereka mengisi waktu luang anak-anak mereka dengan cara menitipkan atau menyerahkan kepada seseorang yang pandai di suatu tempat tertentu, biasanya adalah orang atau tempat dimana mereka juga dulunya pernah ber-"skhole".
Maka sejak saat itulah telah beralih sebagian dari fungsi pengasuhan ibu sampai usia tertentu menjadi lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah sebagai pengganti orang tua.
Lalu, karena makin banyak anak yang diasuh dan dalam jangka waktu yang lebih lama, maka mulailah diperlukan banyak pengasuh yang bersedia meluangkan waktu secara khusus untuk mengasuh anak-anak disuatu tempat yang telah disediakan, dengan pola yang semakin teratur, dengan peraturan yang lebih tertib dan dengan imbalan jasa yang berupa upah dari orang tua anak-anak. Keadaan ini berlangsung sampai sekarang.
Akhirnya pelembagaan pendidikan yang dinamakan sekolah ini telah menimbulkan ketidakberdayaan kejiwaan. Ketergantungan pada pelayanan lembaga sekolah membuat kita jadi sangsi akan kemampuan kita untuk menyelesaikan urusan kita sendiri. Proses degradasi ini semakin cepat ketika kebutuhan-kebutuhan non-material diubah menjadi permintaan akan barang, ketika pendidikan dilihat sebagai hasil dari jasa atau pelayanan.
***
Bulan Juni, abad 21.
Sudah tanggal 10, hari yang cerah, secerah hati Rachmadi.
Hari ini Rachmadi bisa mengambil honor mengajar. Honor hasil jerih payah atas pekerjaannya sebagai dosen tidak tetap pada suatu institusi perguruan tinggi di Jakarta.
Seratus lima puluh ribu rupiah. Hati Rachmadi yang tadinya cerah, mendadak kelabu seakan datang mendung meliputi hatinya.
"Kok, gak naik-naik sih ?", tanya Rachmadi dalam hati setengah kesal. "Ah, mudah-mudahan cukup", hatinya kembali menenangkan.
"Kalau mau naik honormu, kamu harus sekolah lagi untuk mendapatkan gelar S2", kata temannya yang dosen juga di institusi yang sama. Temannya itu memang telah mendapat gelar S2 dengan menyelesaikan kuliah S2 di institusi lain.
Yups, betul...seorang dosen dengan menyandang gelar S2 maka kepangkatan sebagai staf pengajar akan naik pula. Kepangkatan dalam staf pengajar akan menaikkan honor dengan sendirinya.
Bagi Rachmadi, untuk sekolah lagi sehingga mendapatkan gelar S2 mungkin tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah baginya adalah untuk diterima di perguruan tinggi setara S2 menuntut adanya persyaratan batas minimal nilai Indeks Prestasi ketika kuliah di tingkat S1.
"Indeks Prestasiku khan cuma 2,45", kata Rachmadi setengah berbisik seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri dalam suasana keputusasaan.
"Ah, itu sih gampang diatur sama bagian Administrasi Fakultas", kata temannya yang dosen. Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang setiap bulan ketika Rachmadi mengambil honornya yang kalau dengan akal tidak cukup untuk pengganti bensin sekalipun.
Rachmadi samar-samar melihat ada "benang merah" masalah pendidikan yang terbentang dari masa SMA nya dulu ketika raportnya membara dengan tinta merah dengan masa sekarang sebagai dosen.
Nah kalau demikian, bagaimana kita bisa mendapatkan ketrampilan-ketrampilan yang mempunyai kecenderungan-kecenderungan bagaimana mudah "belajar" bukan bagaimana mudah "mengajar" ?
Ternyata kita masih menuju ke arah "sekolah" dalam arti kata secara bahasa !
Terima Kasih, Salam Sukses untuk Anda !
Rachmadi Triatmojo
Pendiri dan Arsitek sketsarumah.com
http://www.sketsarumah.com
Hari ini, hari yang mendebarkan.
Rachmadi sudah merasa "raport" nya akan dibanjiri dengan tinta merah. Nilai-nilai pelajarannya sudah pasti kebanyakan 'jeblog' semua. Rachmadi sekarang berada di kelas dua sebuah Sekolah Menengah Atas Negeri di bilangan Setiabudi, Jakarta.Hari ini adalah hari penerimaan raport semester pertama.
Dia teringat kembali masa-masa sekolah ketika semester pertama itu. Hari-harinya dipenuhi dengan ketidakseriusan. 'Ngobrol' di dalam kelas ketika pelajaran berlangsung. 'Ngabur' dari pelajaran yang tidak dia sukai. Main bola pada waktu luang. 'Nongkrong' di kantin. Dan lain-lain. Dan sebagainya. Dia tidak ingat lagi apa saja yang telah dilakukan untuk membuang hal-hal yang serius dalam masa-masa belajar sekolahnya. Terlalu banyak untuk diingat dan terlalu banyak untuk diceritakan yang akan membuatnya malu.
Yang jelas, dari semua itu Rachmadi sampai merasa bahwa dirinya tidak tahu lagi untuk apa dia sekolah !
"Gila, rapot gue kebakaran ! Hampir semua pelajaran nilainya merah semua !" kata hati Rachmadi ketika raport di tangan bergetar tanda terkejut setengah takut. Dia sudah terbayang, betapa ayah dan ibu akan marah besar. Rachmadi sekarang ternyata telah menjadi 'pemancing'. Iyah ! Pemancing kemarahan.
"Eeeh, kok kelihatannya lo bingung amat sih ?", tegur Fatah teman akrabnya.
"Ini lho, lihat raportku !", sahut Rachmadi masih dengan kegundahannya.
Fatah melihat raport Rachmadi. Tidak ada perubahan mimik wajah sama sekali ketika dia melihat raport Rachmadi. Seolah-olah raport temannya itu wajar-wajar saja.
"Lo tenang aja, gak usah bingung deh ...,gue kasih tahu caranya agar raport lo bisa disulap jadi biru semua", kata Fatah dengan gaya penasehat yang penuh bijaksana.
"Ikut les sama guru pelajaran yang nilainya merah, dijamin deh biru semua pada kenaikan kelas nanti...", sambung Fatah dengan wajah penuh keyakinan.
"Yang sudah-sudah juga begitu kok !" tambahnya lagi.
"...???", Rachmadi termangu-mangu dia semakin bingung saja.
Nah, begitulah sekolah. Sekolah telah membuat kita tidak bisa lagi membedakan antara "proses" dan "substansi". Ketika proses pendidikan (baca: sekolah) dan substansi pendidikan dicampuraduk maka timbullah 'nilai-nilai baru'. Nilai-nilai yang menyesatkan kita.Nilai-nilai yang membuat kita bodoh ditengah-tengah "peperangan melawan kebodohan" (baca : pendidikan).
Kita telah diajak untuk memahami bahwa "pengajaran" sama dengan "belajar"."Naik kelas" sama dengan "pendidikan". "Ijazah" atau "raport" sama dengan "kemampuan". Maka dengan demikian kita telah mengalami distorsi dalam memahami makna "pendidikan" itu sendiri. Yang kita fahami bahwa sekolah adalah suatu lembaga yang telah difahami sebagai wujud hakekat pendidikan itu sendiri.
Mengapa sudah sangat demikian biasnya ?
Untuk mengetahui sebabnya, maka pertama hendaknya kita menelusuri sejarah timbulnya sekolah sebagai bagian dari perkembangan peradaban manusia dimana lembaga sekolah itu lahir. Yang kedua adalah, apa dampak secara kejiwaan dari lembaga sekolah akibat dari nilai-nilai yang tertanam dalam masyarakat berdasarkan perjalanan sejarahnya.
Kalau kita telusuri dari bahasa aslinya, kata "sekolah" berasal dari bahasa Latin yaitu skhole, scola, scolae atau schola yang berarti "waktu luang" atau "waktu senggang". Hah ! apa hubungannya ? Nah, kita lihat sejarahnya maka akan terlihat hubungan antara makna sekolah dan arti secara bahasa.
Dahulu di Yunani - tempat asal muasal kata "sekolah" - orang mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang yang pandai dalam hal-hal tertentu untuk menanyakan dan mempelajari hal-hal yang mereka butuh ketahui. Dari sini dapat dimengerti secara istilah 'sekolah" berarti "waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar".
Lama kelamaan, kebiasaan tersebut tidak semata-mata menjadi kebiasaan kaum lelaki dewasa. Kebiasaan tersebut juga diberlakukan bagi anak-anak mereka. Karena desakan perkembangan kehidupan yang kian beragam dan kian menyita waktu, orang tua merasa bahwa mereka tak punya waktu lagi untuk mengajarkan banyak hal kepada anak-anak mereka. Maka mereka mengisi waktu luang anak-anak mereka dengan cara menitipkan atau menyerahkan kepada seseorang yang pandai di suatu tempat tertentu, biasanya adalah orang atau tempat dimana mereka juga dulunya pernah ber-"skhole".
Maka sejak saat itulah telah beralih sebagian dari fungsi pengasuhan ibu sampai usia tertentu menjadi lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah sebagai pengganti orang tua.
Lalu, karena makin banyak anak yang diasuh dan dalam jangka waktu yang lebih lama, maka mulailah diperlukan banyak pengasuh yang bersedia meluangkan waktu secara khusus untuk mengasuh anak-anak disuatu tempat yang telah disediakan, dengan pola yang semakin teratur, dengan peraturan yang lebih tertib dan dengan imbalan jasa yang berupa upah dari orang tua anak-anak. Keadaan ini berlangsung sampai sekarang.
Akhirnya pelembagaan pendidikan yang dinamakan sekolah ini telah menimbulkan ketidakberdayaan kejiwaan. Ketergantungan pada pelayanan lembaga sekolah membuat kita jadi sangsi akan kemampuan kita untuk menyelesaikan urusan kita sendiri. Proses degradasi ini semakin cepat ketika kebutuhan-kebutuhan non-material diubah menjadi permintaan akan barang, ketika pendidikan dilihat sebagai hasil dari jasa atau pelayanan.
***
Bulan Juni, abad 21.
Sudah tanggal 10, hari yang cerah, secerah hati Rachmadi.
Hari ini Rachmadi bisa mengambil honor mengajar. Honor hasil jerih payah atas pekerjaannya sebagai dosen tidak tetap pada suatu institusi perguruan tinggi di Jakarta.
Seratus lima puluh ribu rupiah. Hati Rachmadi yang tadinya cerah, mendadak kelabu seakan datang mendung meliputi hatinya.
"Kok, gak naik-naik sih ?", tanya Rachmadi dalam hati setengah kesal. "Ah, mudah-mudahan cukup", hatinya kembali menenangkan.
"Kalau mau naik honormu, kamu harus sekolah lagi untuk mendapatkan gelar S2", kata temannya yang dosen juga di institusi yang sama. Temannya itu memang telah mendapat gelar S2 dengan menyelesaikan kuliah S2 di institusi lain.
Yups, betul...seorang dosen dengan menyandang gelar S2 maka kepangkatan sebagai staf pengajar akan naik pula. Kepangkatan dalam staf pengajar akan menaikkan honor dengan sendirinya.
Bagi Rachmadi, untuk sekolah lagi sehingga mendapatkan gelar S2 mungkin tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah baginya adalah untuk diterima di perguruan tinggi setara S2 menuntut adanya persyaratan batas minimal nilai Indeks Prestasi ketika kuliah di tingkat S1.
"Indeks Prestasiku khan cuma 2,45", kata Rachmadi setengah berbisik seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri dalam suasana keputusasaan.
"Ah, itu sih gampang diatur sama bagian Administrasi Fakultas", kata temannya yang dosen. Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang setiap bulan ketika Rachmadi mengambil honornya yang kalau dengan akal tidak cukup untuk pengganti bensin sekalipun.
Rachmadi samar-samar melihat ada "benang merah" masalah pendidikan yang terbentang dari masa SMA nya dulu ketika raportnya membara dengan tinta merah dengan masa sekarang sebagai dosen.
Nah kalau demikian, bagaimana kita bisa mendapatkan ketrampilan-ketrampilan yang mempunyai kecenderungan-kecenderungan bagaimana mudah "belajar" bukan bagaimana mudah "mengajar" ?
Ternyata kita masih menuju ke arah "sekolah" dalam arti kata secara bahasa !
***
Semoga Bermanfaat.Terima Kasih, Salam Sukses untuk Anda !
Rachmadi Triatmojo
Pendiri dan Arsitek sketsarumah.com
http://www.sketsarumah.com
Mau tahu Studionya ?
Silahkan klik http://www.sketsarumah.com/p/studio.html
Atau mau tahu langsung hasil-hasil karyanya ?
Silahkan klik http://www.sketsarumah.com/p/karya.html
Silahkan klik http://www.sketsarumah.com/p/studio.html
Atau mau tahu langsung hasil-hasil karyanya ?
Silahkan klik http://www.sketsarumah.com/p/karya.html
5 komentar
Memang serasa janggal apa yang terjadi di dunia pendidikan kita.
Dan bahkan saking mendarah dagingnya sudah menjadi budaya dan kebiasaan.
Apabila kita menyelisihinya terasa janggal dan aneh.
Pernah suatu ketika dalam beberapa kesempatan saya sering menasihatkan kepada anak didik saya dan anak-anak saya sendiri.
Yaitu: "Kalian kalau belajar pada saat Ujian atau Imtihan itu namanya menipu diri sendiri,
orang tua kalian, guru-guru kalian, dan orang lain. Sudah terlambat kalau kalian mengerjakan kebiasaan seperti ini.
Hasilnya hanya akan menggambarkan keaadan kalian saat di tes saja.
Yang kalian kerjakan ini tidak menggambarkan keadaan kalian yang sebenarnya.
Tinggalkan kebiasaan seperti ini!. Belajar itu setiap hari dan rutin walaupun hanya sedikit-sedikit, tapi rutin.
Masalah kegagalan, jangan takut.... kalian masih dalam proses belajar"
Dan suatu ketika ini dijalankan oleh salah satu anak saya. Dia tidak belajar sama sekali ketika Imtihan atau te…
wajib belajar disamakan dengan wajib sekolah, padahal kalau mau dikembalikan ke makna awal sekolah, seharusnya sekolah hanyalah pengisi waktu luang saja, dengan demikian anak-anak sepantasnya belajar dari kehidupan mereka sehari-hari.
namun dunia industri benar-benar telah menjadikan manusia sebagai mesin penggerak industri. supaya roda kapitalisme terus berputar, dan manusia berada di antara materialisme, yang membuatnya lupa tujuan awal penciptaan dirinya sebagai hamba Yang Maha Pencipta
Untuk Pak Wahid dan Mas Andi, untuk ilmu dunia saja sudah begitu ... karena orientasi memang duniawi. Makanya dengan jalan apa saja (menghalalkan segala cara) mereka tempuh. Yang penting mendapatkan ijazah dengan nilai yang nantinya bisa untuk melamar pekerjaan. He he kan emang universitas2 mempersiapkan tenaga "siap pakai". Berarti memang mental (maaf) budak lah yang mereka pupuk. Bukan tenaga siap mandiri.
Nah, kalau hal ini merasuk pada pendidikan islami lalu apa jadinya kita ini ??? Dunia ancur Akhirat berkeping-keping ...
Allah Musta'an jangan sampe deh !
Pengalaman nyata Bung ...saya kalau bikin narasi gak pernah fiktif ...buat apa cerita bohong ?
Makanya pendidikan kita dalam masalah ilmu2 umum itu gak pernah beres ...lha wong guru atau dosennya aja seperti itu ..gimana muridnya ?